Jumat, 09 Desember 2011

utarakanlah apa yang ada di fikiranmu

Jangan “ngambek” berkepanjangan terhadap orang yang kamu kasihi

Ini adalah cerita nyata (diceritakan oleh Lu Di dan di edit oleh Lian Shu Xiang) .
Sebuah salah pengertian yang mengakibatkan kehancuran sebuah rumah tangga.
Tatkala nilai akhir sebuah kehidupan sudah terbuka, tetapi segalanya sudah terlambat.
Membawa nenek untuk tinggal bersama menghabiskan masa tuanya bersama kami, malah telah menghianati ikrar cinta yang telah kami buat selama ini.
Setelah 2 tahun menikah, saya dan suami setuju menjemput nenek di kampung untuk tinggal bersama.

Sejak kecil suami saya telah kehilangan ayahnya, dia adalah satu-satunya harapan nenek, nenek pula yang membesarkannya dan menyekolahkan dia hingga tamat kuliah.
Saya terus mengangguk tanda setuju, kami segera menyiapkan sebuah kamar yang menghadap taman untuk nenek, agar dia dapat berjemur, menanam bunga dan sebagainya.
Suamiku berdiri di depan kamar yang sangat kaya dengan sinar matahari, tidak sepatah katapun yang terucap tiba-tiba saja dia mengangkat saya dan memutar-mutar saya seperti adegan dalam film India dan berkata, “Mari,kita jemput nenek di kampung”.
Suamiku berbadan tinggi besar, aku suka sekali menyandarkan kepalaku ke dadanya yang bidang, ada suatu perasaan nyaman dan aman di sana.
Aku seperti sebuah boneka kecil yang kapan saja bisa diangkat dan dimasukan ke dalam kantongnya.

Kalau terjadi selisih paham di antara kami, dia suka tiba-tiba mengangkatku tinggi-tinggi di atas kepalanya dan diputar-putar sampai aku berteriak ketakutan baru diturunkan. Aku sungguh menikmati saat-saat seperti itu.
Kebiasaan nenek di kampung tidak berubah.
Aku suka sekali menghias rumah dengan bunga segar,sampai akhirnya nenek tidak tahan lagi dan berkata kepada suamiku, “Istri kamu hidup foya-foya, buat apa beli bunga? Kan bunga tidak bisa dimakan?”
Aku menjelaskannya kepada nenek, “Ibu, rumah dengan bunga segar membuat rumah terasa lebih nyaman dan suasana hati lebih gembira.”
Nenek berlalu sambil mendumel, suamiku berkata sambil tertawa, “Ibu, ini kebiasaan orang kota, lambat laun ibu akan terbiasa juga.”
Nenek tidak protes lagi, tetapi setiap kali melihatku pulang sambil membawa bunga, dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya berapa harga bunga itu, setiap mendengar jawabanku dia selalu mencibir sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Setiap membawa pulang barang belanjaan, dia selalu tanya itu berapa harganya, ini berapa. Setiap aku jawab, dia selalu berdecak dengan suara keras.
Suamiku memencet hidungku sambil berkata, “Putriku, kan kamu bisa berbohong. Jangan katakan harga yang sebenarnya.”
Lambat laun, keharmonisan dalam rumah tanggaku mulai terusik.
Nenek sangat tidak bisa menerima melihat suamiku bangun pagi menyiapkan sarapan pagi untuk dia sendiri, di mata nenek seorang anak laki-laki masuk ke dapur adalah hal yang sangat memalukan.

Di meja makan, wajah nenek selalu cemberut dan aku sengaja seperti tidak mengetahuinya.
Nenek selalu membuat bunyi-bunyian dengan alat makan seperti sumpit dan sendok, itulah cara dia protes. Aku adalah instrukstur tari, seharian terus menari membuat badanku sangat letih, aku tidak ingin membuang waktu istirahatku dengan bangun pagi apalagi di saat musim dingin. Nenek kadang juga suka membantuku di dapur, tetapi makin dibantu aku menjadi semakin repot, misalnya; dia suka menyimpan semua kantong-kantong bekas belanjaan, dikumpulkan bisa untuk dijual katanya.
Jadilah rumahku seperti tempat pemulungan kantong plastik, di mana-mana terlihat kantong plastik besar tempat semua kumpulan kantong plastik.
Kebiasaan nenek mencuci piring bekas makan tidak menggunakan cairan pencuci, agar dia tidak tersinggung, aku selalu mencucinya sekali lagi pada saat dia sudah tidur.
Suatu hari, nenek mendapati aku sedang mencuci piring malam harinya, dia segera masuk ke kamar sambil membanting pintu dan menangis.
Suamiku jadi serba salah, malam itu kami tidur seperti orangbisu, aku coba bermanja-manja dengan dia, tetapi dia tidak perduli.

Aku menjadi kecewa dan marah.

“Apa salahku?”

Dia melotot sambil berkata, “Kenapa tidak kamu biarkan saja? Apakah makan dengan piring itu bisa membuatmu mati?”
Aku dan nenek tidak bertegur sapa untuk waktu yg cukup lama, suasana mejadi kaku.
Suamiku menjadi sangat kikuk, tidak tahu harus berpihak pada siapa?
Nenek tidak lagi membiarkan suamiku masuk ke dapur, setiap pagi dia selalu bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuknya, suatu kebahagiaan terpancar di wajahnya jika melihat suamiku makan dengan lahap, dengan sinar mata yang seakan mencemoohku sewaktu melihat padaku, seakan berkata, “Dimana tanggung jawabmu sebagai seorang istri?”
Demi menjaga suasana pagi hari tidak terganggu, aku selalu membeli makanan diluar pada saat berangkat kerja.
Saat tidur, suami berkata, “Lu Di, apakah kamu merasa masakan ibu tidak enak dan tidak bersih sehingga kamu tidak pernah makan di rumah?”
Sambil memunggungiku dia berkata tanpa menghiraukan air mata yg mengalir di kedua belah pipiku.
Dan dia akhirnya berkata, “Anggaplah ini sebuah permintaanku, makanlah bersama kami setiap pagi.”
Aku mengiyakannya dan kembali ke meja makan yang serba canggung itu.
Pagi itu nenek memasak bubur, kami sedang makan dan tiba-tiba ada suatu perasaan yang sangat mual menimpaku, seakan- akan isi perut mau keluar semua.
Aku menahannya sambil berlari ke kamar mandi, sampai di sana aku segera mengeluarkan semua isi perut.

Setelah agak reda, aku melihat suamiku berdiri didepan pintu kamar mandi dan memandangku dengan sinar mata yang tajam, di luar sana terdengar suara tangisan nenek dan berkata-kata dengan bahasa daerahnya.
Aku terdiam dan terbengong tanpa bisa berkata-kata.
Sungguh bukan sengaja aku berbuat demikian!
Pertama kali dalam perkawinanku, aku bertengkar hebat dengan suamiku, nenek melihat kami dengan mata merah dan berjalan menjauh. Suamiku segera mengejarnya keluar rumah. Menyambut anggota baru tetapi dibayar dengan nyawa nenek.
Selama 3 hari suamiku tidak pulang ke rumah dan tidak juga meneleponku.
Aku sangat kecewa, semenjak kedatangan nenek di rumah ini, aku sudah banyak mengalah, mau bagaimana lagi?
Entah kenapa aku selalu merasa mual dan kehilangan nafsu makan ditambah lagi dengan keadaan rumahku yang kacau, sungguh sangat menyebalkan.
Akhirnya teman sekerjaku berkata, “Lu Di, sebaiknya kamu periksa ke dokter.”
Hasil pemeriksaan menyatakan aku sedang hamil.
Aku baru sadar mengapa aku mual-mual pagi itu.
Sebuah berita gembira, yang juga terselip kesedihan.
Mengapa suami dan nenek sebagai orang yang berpengalaman tidak berpikir sampai sejauh itu?
Di pintu masuk rumah sakit aku melihat suamiku, 3 hari tidak bertemu dia berubah drastis, muka kusut kurang tidur, aku ingin segera berlalu tetapi rasa iba membuatku tertegun dan memanggilnya.
Dia melihat ke arahku tetapi seakan-akan tidak mengenaliku lagi, pandangan matanya penuh dengan kebencian dan itu melukaiku.

Aku berkata pada diriku sendiri, jangan lagi melihatnya dan segera memanggil taksi.

Padahal aku ingin memberitahunya bahwa kami akan segera memiliki seorang anak. Dan berharap aku akan diangkatnya tinggi-tinggi dan diputar-putar sampai aku minta ampun tetapi…… mimpiku tidak menjadi kenyataan.
Di dalam taksi air mataku mengalir dengan deras.
Mengapa kesalahpahaman ini berakibat sangat buruk?
Sampai di rumah aku berbaring di ranjang memikirkan peristiwa tadi, memikirkan sinar matanya yang penuh dengan kebencian, aku menangis dengan sedihnya.
Tengah malam, aku mendengar suara orang membuka laci, aku menyalakan lampu dan melihat dia dengan wajah berlinang air mata sedang mengambil uang dan buku tabungannya.
Aku menatapnya dengan dingin tanpa berkata-kata.
Dia seperti tidak melihatku saja dan segera berlalu.
Sepertinya dia sudah memutuskan utk meninggalkan aku.
Sungguh lelaki yang sangat picik, dalam saat begini dia masih bisa membedakan antara cinta dengan uang.
Aku tersenyum sambil menitikkan air mata.

Aku tidak masuk kerja keesokan harinya, aku ingin secepatnya membereskan masalah ini, aku akan membicarakan semua masalah ini dan pergi mencarinya di kantornya.

Di kantornya aku bertemu dengan sekretarisnya yang melihatku dengan wajah bingung.

“Ibunya pak direktur baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas dan sedang berada di rumah sakit.”

Mulutku terbuka lebar.

Aku segera menuju rumah sakit dan saat menemukannya, nenek sudah meninggal.

Suamiku tidak pernah menatapku, wajahnya kaku.

Aku memandang jasad nenek yang terbujur kaku.

Sambil menangis, aku menjerit dalam hati, “Tuhan, mengapa ini bisa terjadi?”

Sampai selesai upacara pemakaman, suamiku tidak pernah bertegur sapa denganku, jika memandangku selalu dengan pandangan penuh kebencian.

Peristiwa kecelakaan itu aku juga tahu dari orang lain, pagi itu nenek berjalan ke arah terminal, rupanya dia mau kembali ke kampung.

Suamiku mengejar sambil berlari, nenek juga berlari makin cepat sampai tidak melihat sebuah bus yang datang ke arahnya dengan kencang.

Aku baru mengerti mengapa pandangan suamiku penuh dengan kebencian.

Jika aku tidak muntah pagi itu, jika kami tidak bertengkar, jika… dimatanya, akulah penyebab kematian nenek.

Suamiku pindah ke kamar nenek, setiap malam pulang kerja dengan badan penuh dengan bau asap rokok dan alkohol.

Aku merasa bersalah tetapi juga merasa harga diriku terinjak-injak.

Aku ingin menjelaskan bahwa semua ini bukan salahku dan juga memberitahunya bahwa kami akan segera mempunyai anak.

Tetapi melihat sinar matanya, aku tidak pernah menjelaskan masalah ini.

Aku rela dipukul atau dimaki-maki olehnya walaupun ini bukan salahku.

Waktu berlalu dengan sangat lambat.

Kami hidup serumah tetapi seperti tidak mengenal satu sama lain.

Dia pulang makin larut malam.

Suasana tegang di dalam rumah.

Suatu hari, aku berjalan melewati sebuah cafe, melalui keremangan lampu dan kisi-kisi jendela, aku melihat suamiku dengan seorang wanita didalam.

Dia sedang menyibak rambut sang gadis dengan mesra.

Aku tertegun dan mengerti apa yg telah terjadi.

Aku masuk kedalam dan berdiri di depan mereka sambil menatap tajam kearahnya.

Aku tidak menangis, juga tidak berkata apapun karena aku juga tidak tahu harus berkata apa.

Sang gadis melihatku dan ke arah suamiku, dan segera hendak berlalu.

Tetapi dicegah oleh suamiku dan menatap kembali ke arahku dengan sinar mata yg tidak kalah tajam dariku. Suara detak jantungku terasa sangat keras, setiap detak suara seperti suara menuju kematian.

Akhirnya aku mengalah dan berlalu dari hadapan mereka, jika tidak.. mungkin aku akan jatuh bersama bayiku di hadapan mereka.

Malam itu dia tidak pulang ke rumah.

Seakan menjelaskan padaku apa yang telah terjadi.

Sepeninggal nenek, rajutan cinta kasih kami juga sepertinya telah berakhir.

Dia tidak kembali lagi ke rumah, kadang sewaktu pulang ke rumah, aku mendapati lemari seperti bekas dibongkar.

Aku tahu, dia kembali mengambil barang-barang keperluannya.

Aku tidak ingin menelepon dia, walaupun kadang terbersit suatu keinginan untuk menjelaskan semua ini

Tetapi, itu tidak terjadi…..

Semua berlalu begitu saja.

Aku mulai hidup seorang diri, pergi check kandungan seorang diri.

Setiap kali melihat sepasang suami istri sedang check kandungan bersama, hati ini serasa hancur.

Teman- teman menyarankan agar aku membuang saja bayi ini, tetapi aku seperti orang yang sedang histeris mempertahankan miliknya.

Hitung-hitung sebagai pembuktian kepada nenek bahwa aku tidak bersalah.

Suatu hari sepulang kerja, aku melihat dia duduk di depan ruang tamu.

Ruangan penuh dengan asap rokok dan ada selembar kertas di atas meja, tidak perlu tanya aku juga tahu surat apa itu.

2 bulan hidup sendiri, aku sudah bisa mengontrol emosi.

Sambil membuka mantel dan topi aku berkata kepadanya, “Tunggu sebentar, aku akan segera menanda tanganinya.”

Dia melihatku dengan pandangan awut-awutan, demikian juga aku.

Aku berkata pada diri sendiri, jangan menangis, jangan menangis.

Mata ini terasa sakit sekali, tetapi aku terus bertahan agar air mata ini tidak keluar.

Selesai membuka mantel, aku berjalan ke arahnya dan ternyata dia memperhatikan perutku yang agak membuncit.

Sambil duduk di kursi, aku menanda tangani surat itu dan menyodorkan kepadanya.

“Lu Ti, kamu hamil?”

Semenjak nenek meninggal, itulah pertama kali dia berbicara kepadaku.

Aku tidak bisa lagi membendung air mataku yang menglir keluar dengan derasnya.

Aku menjawab, “Ya, tetapi tidak apa-apa. Kamu sudah boleh pergi.”

Dia tidak pergi, dalam keremangan ruangan kami saling berpandangan.

Perlahan-lahan dia membungkukan badannya ke tanganku, air matanya terasa menembus lengan bajuku.

Tetapi di lubuk hatiku, semua sudah berlalu, banyak hal yang sudah pergi dan tidak bisa diambil kembali.

Entah sudah berapa kali aku mendengar dia mengucapkan kata, “Maafkan aku, maafkan aku”.

Aku pernah berpikir untuk memaafkannya, tetapi tidak bisa.

Tatapan matanya di cafe itu tidak akan pernah aku lupakan.

Cinta di antara kami telah ada sebuah luka yang menganga.

Semua ini adalah sebuah akibat kesengajaan darinya.

Berharap dinding es itu akan mencair, tetapi yang telah berlalu tidak akan pernah kembali.

Hanya sewaktu memikirkan bayiku, aku bisa bertahan untuk terus hidup.

Terhadapnya, hatiku dingin bagaikan es, tidak pernah menyentuh semua makanan pembelian dia, tidak menerima semua hadiah pemberiannya, tidak juga berbicara lagi dengannya.

Sejak menanda tangani surat itu, semua cintaku padanya sudah berlalu, harapanku telah lenyap tidak berbekas.

Kadang dia mencoba masuk ke kamar untuk tidur bersamaku, aku segera berlalu ke ruang tamu, dia terpaksa kembali ke kamar nenek.

Malam hari, terdengar suara orang mengerang dari kamar nenek, tetapi aku tidak perduli.

Itu adalah permainan dia dari dulu.

Jika aku tidak perduli padanya, dia akan berpura-pura sakit sampai aku menghampirinya dan bertanya apa yang sakit.

Dia lalu akan memelukku sambil tertawa terbahak-bahak.

Dia lupa…….. itu adalah dulu, saat cintaku masih membara, sekarang apa lagi yang aku miliki?

Begitu seterusnya, setiap malam aku mendengar suara orang mengerang sampai anakku lahir.

Hampir setiap hari dia selalu membeli barang-barang perlengkapan bayi, perlengkapan anak-anak dan buku-buku bacaan untu kanak-anak.

Setumpuk demi setumpuk sampai kamarnya penuh sesak dengan barang-barang.

Aku tahu dia mencoba menarik simpatiku, tetapi aku tidak bergeming.

Terpaksa dia mengurung diri di dalam kamar.

Malam hari dari kamarnya selalu terdengar suara pencetan keyboard komputer.

Mungkin dia lagi tergila-gila chatting dan berpacaran di dunia maya pikirku.

Bagiku itu bukan lagi suatu masalah.

Suatu malam di musim semi, perutku tiba-tiba terasa sangat sakit dan aku berteriak dengan suara yang keras.

Dia segera berlari masuk ke kamar, sepertinya dia tidak pernah tidur.

Saat inilah yang ditunggu-tunggu olehnya.

Aku digendongnya dan berlari mencari taksi ke rumah sakit.

Sepanjang jalan, dia mengenggam dengan erat tanganku, menghapus keringat dingin yang mengalir di dahiku.

Sampai di rumah sakit, aku segera digendongnya menuju ruang bersalin.

Di tubuhnya yang kurus kering, aku terbaring dengan hangat dalam dekapannya.

Sepanjang hidupku, siapa lagi yang mencintaiku sedemikian rupa jika bukan dia?

Sampai di pintu ruang bersalin, dia memandangku dengan tatapan penuh kasih sayang saat aku didorong menuju persalinan, sambil menahan sakit aku masih sempat tersenyum padanya.

Keluar dari ruang bersalin, dia memandang aku dan anakku dengan wajah penuh dengan air mata sambil tersenyum bahagia.

Aku memegang tanganya, dia membalas memandangku dengan bahagia, tersenyum dan menangis lalu terjerambab ke lantai.

Aku berteriak histeris memanggil namanya.

Setelah sadar,dia tersenyum tetapi tidak bisa membuka matanya…

Aku pernah berpikir tidak akan lagi meneteskan sebutir air matapun untuknya, tetapi kenyataannya tidak demikian, aku tidak pernah merasakan sesakit saat ini.

Kata dokter, kanker hatinya sudah sampai pada stadium mematikan, bisa bertahan sampai hari ini sudah merupakan sebuah mujizat.

Aku bertanya kapan kanker itu terdeteksi?

5 bulan yang lalu kata dokter, bersiap-siaplahmenghadapi kemungkinan terburuk.

Aku tidak lagi peduli dengan nasehat perawat, aku segera pulang ke rumah dan masuk ke kamar nenek lalu menyalakan komputer.

Ternyata selama ini suara orang mengerang adalah benar apa adanya, aku masih berpikir dia sedang bersandiwara. …

Sebuah surat yang sangat panjang ada di dalam komputer yang ditujukan kepada anak kami.

“Anakku, demi dirimu aku terus bertahan, sampai aku bisa melihatmu… itu adalah harapanku.

Aku tahu dalam hidup ini, kita akan menghadapi semua bentuk kebahagiaan dan kekecewaan,

sungguh bahagia jika aku bisa melaluinya bersamamu, tetapi ayah tidak mempunyai kesempatan untuk itu. Di dalam komputer ini, ayah mencoba memberikan saran dan nasehat terhadap segala kemungkinan hidup yang akan kamu hadapi. Kamu boleh mempertimbangkan saran ayah.”
Anakku, selesai menulis surat ini, ayah merasa telah menemanimu hidup selama bertahun -tahun.

Ayah sungguh bahagia.

Cintailah ibumu, dia sungguh menderita, dia adalah orang yang paling mencintaimu dan adalah orang yang paling ayah cintai”.

Mulai dari kejadian yang mungkin akan terjadi sejak TK, SD, SMP, SMA sampai kuliah, semua tertulis dengan lengkap di dalamnya.

Dia juga menulis sebuah surat untukku.

“Kasihku… dapat menikahimu adalah hal yang paling bahagia aku rasakan dalam hidup ini.

Maafkan salahku, maafkan aku tidak pernah memberitahumu tentang penyakitku. Aku tidak mau kesehatan bayi kita terganggu oleh karenanya.

Kasihku, jika engkau menangis sewaktu membaca surat ini, berarti kau telah memaafkanku.

Terima kasih atas cintamu padaku selama ini.

Aku tidak punya kesempatan untuk memberikan hadiah-hadiah ini pada anak kita.

Pada bungkusan hadiah tertulis semua tahun pemberian padanya.”

Kembali ke rumah sakit, suamiku masih terbaring lemah.

Aku menggendong anak kami dan membaringkannya di atas dadanya sambil berkata, “Sayang, bukalah matamu sebentar saja, lihatlah anak kita. Aku mau dia merasakan kasih sayang dan hangatnya pelukan ayahnya”.

Dengan susah payah dia membuka matanya, tersenyum….. anak itu tetap dalam dekapannya, dengan tangannya yang mungil memegangi tangan ayahnya yang kurus dan lemah.

Tidak tahu aku sudah menjepret berapa kali momen itu dengan kamera di tangan sambil berurai air mata….

Teman2 terkasih, aku berbagi cerita ini kepada kalian, agar kita semua bisa menyimak pesan dari cerita ini.

Mungkin saat ini air mata kalian sedang jatuh mengalir atau mata masih sembab sehabis menangis, ingatlah pesan daricerita ini:
“Jika ada sesuatu yang mengganjal di hati di antara kalian yang saling mengasihi, sebaiknya utarakanlah, jangan simpan di dalam hati. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi besok?”

Ada sebuah pertanyaan:
Jika kita tahu besok adalah hari kiamat, apakah kita akan menyesali semua hal yang telah kita perbuat?

Atau apa yang telah kita ucapkan? Sebelum segalanya menjadi terlambat, pikirlah masak-masak semua yang akan kita lakukan sebelum kita menyesalinya seumur hidup.

Aku Terpaksa Menikahinya

Kisah inspiratif untuk para istri dan suami

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Meni...kah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,  ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat  pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya  dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!


Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.Dikutip dari sebuah kisah inspiratif..